A.Sejarah dan Perkembangan
Agama Zoroaster diambil dari nama pendirinya yaitu Zarathustra
(660-583 SM). Agama itu mulanya tumbuh di wilayah Azarbaijan sebelah utara
Iran. Oleh karena beroleh tantangan dari bangsanya di wilayah tersebut, maka
Zarathustra berangkat menuju Balkh, ibukota wilayah Baktria di Asia Tengah. Di
depan balai penghadapan raja Kavi Vishtaspa, di dalam suatu dialog agama, ia
berhasil menundukkan kaum Majus, hingga sang Raja dan keluarga istana memeluk
agama Zoroaster dan mengumumkannya sebagai agama resmi di dalam wilayah
Baktria.
Raja Kavi Vishtaspa itu, yang dalam literatur Barat dikenal sebagai
King Hystaspes, berasal dari keluarga Hakkham. Seorang cucunya, Cyrus The Great
(559-529 SM) berhasil membangun sebuah imperium Persi yang dikenal dengan
Dinasti Hakkham (600-331 SM), dan dunia Barat mengenalnya dengan nama dinasti
Achaemenids. Ibukota dipindahkan dari Balkh ke kota Sussa di sebelah timur
sungai Tigris, kemudian ke Persepolis (Istakhri).
Raja-raja dari dinasti Achaemenids itu adalah penganut agama
Zoroaster sampai kepada Raja Darius III (336-331 SM). Pada masa raja inilah,
imperium Persi itu ditaklukkan oleh Alexander The Great (356-323 SM) dari
Macedonia dan kemudian berlangsung Hellenisasi secara intensif di seluruh
wilayah Iran.
Sejarah raja-raja Achaemenids itu semenjak pertumbuhan kekuasaannya
sampai pada masa tumbangnya terbagi atas tiga tahap, yaitu:
1)
Tahap masa 600-550 SM
Dalam masa 150 tahun
merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan agama Zoroaster, terdiri atas raja
Hystaspes, raja Cyrus I, dan raja Cambyses I.
2)
Tahap masa 550-486 SM
Dalam masa 65 tahun
merupakan masa perluasan kekuasaan dan perluasan pengaruh agama Zoroaster,
terdiri atas raja Cyrus II yang digelari “the great” (550-530 SM), raja
Cambyses II (530-521 SM) dan raja Darius I (521-486 SM). Pada masa inilah
penaklukan Babilonia, Assyria, Asia Kecil, Palestina, dan peperangan terjadi
terus menerus dengan penguasa-penguasa semenanjung Grik dan dengan raja-raja
Pharao dari tanah Mesir.
3)
Tahap masa 486-331 SM
Dalam masa 156 tahun
merupakan masa sengketa yang terus menerus dengan pihak Grik, terdiri atas raja
Xerxes I (486-465 SM), raja Artaxerxes I (465-424 SM), raja Xerxes II (424 SM),
raja Darius II (424-404 SM), raja Artaxerxes II (404-358 SM), raja Artaxerxes
III (358-338 SM), dan raja Arses (338-336 SM), dan raja terakhir Darius III
(336-331 SM). Pada masa terakhir inilah Alexander The Great dari Macedonia
dengan kesatuan kekuatan Grik seluruhnya menaklukan Asia Kecil, Syria,
Palestina, Mesir, dan seluruh wilayah belahan timur sampai Asia Tengah dan anak
benua India.
Di dalam
wilayah yang luas itu berlangsung Hellenisasi, pemaksaan kebudayaan Grik,
mitologi Grik, beserta filsafat Grik, dan pada anak benua India meninggalkan
jejaknya pada seni pahat patung. Dengan berlangsungnya Hellenisasi sekitar 5
abad waktunya dalam dunia Iran,di bawah dinasti Seleucids (248-226 SM), dam
dinasti Arsacids, maka bahwa Iran Tua lenyap dari pergaulan sehari-hari dan
digantikan oleh Pahlevi Tua, yaitu perpaduan bahasa Grik dengan bahasa Iran.
Sementara itu,
mitologi Grik yang memuja Dewa Zeus, yang melambangkan dewata Matahari itu,
beserta pemujaan dewa-dewa lainnya, lantas diserap oleh masyarakat hingga agama
Zoroaster yang asli dan yang menganut monoteisme digantikan oleh aliran-aliran
Mazdaism, Mithraism, dan Machaenism. Aliran-aliran itu berkembang dan menjadi
anutan rakyat umum dari abad kea bad sampai kepada masa pertumbuhan dan
perkembangan kekuasaan nasional Iran kembali, yaitu dinasti Sassanids (226-641
M). Yang lebih berpengaruh di antara aliran itu adalah Mazdaism yang lambat laun
dikenal dengan Agama Majusi, karena upacara-upacara kebaktian dilaksanakan
melalui para pendeta kuil yang dipanggilkan dengan kaum Majusi.
Tema utama dari
ajaran Zoroaster adalah untuk menggantikan berbagai ahuras atau dewa
tradisional agama Indo-Iran dengan satu Ahura, Allah yang tertinggi atau Ahura
Mazda. Konsep asli Zoroaster tentang Ahura Mazda ditemukan di dalam apa yang
diyakini telah memiliki wacana sendiri, Gathas, yang membentuk bagian pembukaan
Avesta, kitab suci Zoroastrianisme. Ahura Mazda, katanya, menciptakan sepasang
roh kembar sebagai anak-anaknya. Spenta Mainyu, memilih kebenaran, terang dan
hidup. Dan Angra Mainyu, memilih kebohongan, kegelapan dan kematian.
Sejarah
manusia, menurut kepercayaan Zoroaster, mencerminkan perjuangan antara lawan
abadi, Ahura Mazda dan Angra Mainyu, baik dan jahat, terang dan gelap,
kebenaran dan kebohongan. Zoroaster menolak semuanya, tetapi salah satu bentuk
pengorbanan yang dilakukan oleh Indo-Iran, adalah pengorbanan dengan api.
Sehingga, api menjadi simbol suci kebenaran dalam Zoroastrianisme.
B. Sejarah Pendiri Agama
Sebelah utara tanah Iran, di dalam kota Azarbaijan, tinggal seorang
lelaki bernama Porushop Spitama, dari suku Spitama, bersama istrinya Dughdova yang
molek jelita dan masih berusia 15 tahun. Dewasa itu, lebih kurang pada tahun
660 SM, Dughdova yang belum dijamah suaminya itu melahirkan seorang putra dan
diberi nama Zarathustra.
Kelahiran bayi itu konon telah dinubuatkan sejak 3000 tahun
sebelumnya, (SBE, 5:21, 47:31-34; 47:135-138). Ahura Mazda telah menitiskannya
ke dalam rahim seorang gadis yang masih perawan”, (SBE, 47:17-18) dari suatu
“nur abadi, yang terpadu di dalam rahim ibu Zarathustra” yang masih berusia 15
tahun itu. Peristiwa itu menimbulkan keheranan di dalam lingkungan keluarganya
dan dianggap perbuatan sihir (SBE, 47:18-20).
Zarathustra sewaktu masih kecil diceritakan sangat cerdas dan
tangkas bicara hingga teman-temannya amat menaruh segan kepadanya. Ketika
berusia 15 tahun, ia telah memperoleh costi (ikat pinggang) sebagai tanda lulus
pelajaran keagamaan. Tetapi ia tidak merasa puas dengan keyakinan dan upacara
keagamaan yang dipelajarinya itu. Menjelang usia 20 tahun, ia suka mengembara
kesana kemari sambil memberikan bantuan kepada orang-orang yang malang dan
melarat. Dalam usia 20 tahun, ia pun dikawinkan oleh ibu bapaknya dengan
seorang gadis yang bernama Havivi.
Masa 10 tahun berikutnya dijalaninya dengan kegelisahan di dalam
jiwanya. Ketika usia 30 tahun terjadilah titik balik yang menentukan. Pada
suatu hari, ia berkata kepada istrinya: “Saya akan pergi berkhalwat untuk
memperoleh ketentraman pikiran. Saya berharap akan dapat menemukan sumber
penderitaan di dunia ini”, dan ia pun pergi berkhalwat di dalam sebuah gua pada
Gunung Sabalan dan disitulah ia mendapat pencerahan dan ilham dari Ahura Mazda.
Diceritakan bahwa disitulah dia memperoleh jabatan kerasulannya
dengan turunnya sebuah ayat, (SBE, 31:10-11), berbunyi:
This man is found for me here, who alone has hearkened to our
enunciation. (Orang inilah yang Ku-jumpai disini, yang dia seorang saja sudah
mendengarkan pemberitaan Kami).
Zarathustra menyambut kerasulannya
itu dengan kesediaan diri mengorbankan apapun juga, untuk siapapun juga bagi
penyebaran agama itu, dan dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ahura Mazda
dan mempercayai hanya Ahura Mazda saja. [1]
C. Ajaran dan Praktek Keagamaan
1)
Kitab Suci
Kitab suci dalam agama Zoroaster adalah Avesta, berasal dari akar
kata Avistak, yang berarti Bacaan. Sedangkan pengertian lanjutan dari Avesta
itu bermakna pengetahuan, sebagaimana Veda, kitab suci agama Brahma di India. Sebagaimana
Alkitab, yang merupakan himpunan kitab suci agama Yahudi itu terdiri atas 36
kitab, yang oleh dunia Kristen disebut dengan Perjanjian Lama, maka kitab suci
Avesta itu dulunya terdiri atas 21 buah kitab. Tetapi kini hanya tinggal 5 buah
kitab saja, yaitu Yasna, Vispered, Vendibad, Yasht, dan Khorda Avesta.[2]
ª
Kitab Yasna
Berisi himpunan nyanyian
pujian untuk keperluan kebaktian yang terdiri dari 72 buah haiti (pasal) dan
semuanya terbagi atas tiga bagian:
1.
Bagian Pengantar
yaitu pasal 1-27 tentang minuman suci yang disebut Hooma, yang
sebutan lengkapnya Hooma Yasht. Pasal 12 berisikan bunyi pengakuan keimanan dan
merupakan dokumen bernilai dalam sejarah peradaban.
2.
Gatha
adalah pasal 28-54 yang berisikan bimbingan dan tuntunan, wahyu
terpanjang kepada sang Nabi. Gatha itu terbagi kepada lima buah anak bagian,
yaitu pasal 28-54, pasal 35-46, pasal 47-50, dan pasal 35-42 yang disebut
haptan-haiti, berisikan tujuh buah sisipan Yasna, nyanyian keagamaan. Gatha
inilah yang dipandang paling utama sekali di dalam keseluruhan kitab suci
Avesta, karena masih memperlihatkan ungkapan-ungkapan tua menuruti gaya bahasa
Iran Tua.
3.
Apero Yasno
adalah pasal 55-72 yang berisikan himpunan nyanyian pujaan terhadap
kodrat-kodrat gaib, terdiri atas:
a)
Sraosha
Yasht, pasal 57.
b)
Pujaan
terhadap api, pasal 62.
c)
Pujaan
terhadap air, pasal 63-69.
d)
Pujaan
terhadap kodrat-kodrat lainnya.
Kodrat-kodrat gaib itu dipandang menguasai unsure-unsur alami dan
dipanggil dengan ahuras. Sesuai dengan namanya, maka bagian ini merupakan
sisipan belakangan. Akan tetapi, di dalam perkembangan agama Zoroaster
sepanjang sejarahnya, maka bagian inilah yang dipandang paling utama dan
menjadi dasar pegangan keyakinan agamawi.
ª
Kitab Vispered
Bermakna kodrat-kodrat terkemuka
(Vispe ratave), berisikan pembahasan tentang kodrat-kodrat gaib yang dipandang
paling terkemuka dan kesemuanya itu tunduk kepada Kodrat Tunggal Maha
Bijaksana (Ahura Mazda). Kitab ini pun
berisikan himpunan nyanyian permohonan, dan merupakan kitab kecil tentang
kebaktian, terdiri atas 24 buah anak pasal. Isi dan bentuknya mirip dengan
Yasna dan merupakan kitab kebaktian tambahan.
ª
Kitab Vendidad
Berisikan hukum-hukum agama yang
terdiri atas 22 buah bab. Bermula dari kejadian alam yang dualistic, dan
kejadian manusia pertama bernama Yima. Kemudian, disusul oleh 20 bab tentang
kumpulan hukum-hukum agama dalam berbagai masalah. Seluruh hukum-hukum yang
termuat di dalam Kitab Vendidad itu berpangkal seluruhnya pada sebuah doktrin
yang paling pokok, yaitu: perang terhadap Angro Mainyu dan seluruh
kodrat-kodrat jahat, di dalam pelaksanaan kebaktian terhadap Ahura Mazda.
ª
Kitab Yasht
Berisikan kumpulan nyanyian keagamaan kepada para Izad,
yaitu kodrat-kodrat gaib yang termulia, terdiri dari 21 buah nyanyian pujian,
merupakan kumpulan tambahan bagi kitab Yasna. Pasal 9-10 berisikan sajak
agamawi bermutu tinggi peninggalan Iran Tua, terpandang Yasht terbesar, kaya
dengan kisah-kisah keagamaan dan sejarah. Pasal-pasal lainnya berisikan
kisah-kisah penuh corak dan warna tentang ahuras dan daevas disertai
kisah-kisah yang berisi kiasan. Bab yang dipandang paling penting dari
seluruhnya adalah Yasht ke XIX berisikan kisah tentang nabi terbesar dari Iran,
Zarathustra, beserta ajarannya tentang akhir alam semesta dan tentang peradilan
terakhir dari Ahura Mazda.
ª
Kitab Khorda Avesta
Berisikan kumpulan nyanyian agamawi berbentuk singkat, untuk
digunakan oleh seluruh orang beriman di kalangan awam, di dalam kebaktian
sehari-hari.[3]
2)
Keyakinan terhadap Ahura Mazda
Pengakuan keimanan yang
harus diucapkan setiap orang yang beriman di dalam agama Zoroaster itu
berbunyi:
I confess myself a worshipper of Mazda, a follower of Zarathustra,
one who hates the daevas, and who obeys the Law of Ahura.
(Saya mengaku diriku penyembah Mazda, pengikut Zarathustra, yang
membenci daevas dan mentaati Hukum Ahura).
Di dalam kebaktian sehari-hari, setiap orang beriman itu harus
menegaskan kepercayaan bahwa ajaran Zarathustra itu melebihi ajaran agama-agama
lainnya, dengan mengucapkan:
Yes, I praise the Faith of Mazda, the holy creed which the most
imposing, best and most beautiful of all religious which is exist and of all
that shall in future to some to knowledge.
(Ya, saya memuji keimanan terhadap Mazda, pengakuan suci yang amat
mengesankan itu, yang amat baik, amat molek dari seluruh agama yang ada dan
yang bakal dapat diketahui masa depan).
Jadi, keimanan yang paling pokok di dalam agama Zoroaster itu
adalah pengakuan terhadap Ahura Mazda, terhadap Kodrat Maha Tunggal dan Maha
Bijaksana. Di dalam sebuah nyanyian keagamaan yang termuat pada bagian Gatha di
dalam kitab Yasna dijumpai bait yang berbunyi:
From Him, that world has emanated,
His guiding spirit is the Holy Spirit.
(Dari Dia, alam semesta berasal.
Rohnya yang membimbing adalah Rohul kudus).[4]
3)
Keyakinan terhadap Spenta Mainyu
Ahura Mazda itu, selain menciptakan alam, juga menciptakan
kodrat-kodrat rohani yang dipanggil dengan Mainyu. Kodrat-kodrat rohani itu
terbagi menjadi dua golongan: Spenta Mainyu dan Angro Mainyu. Spenta Mainyu
bermakna Mainyu yang baik, dan Angro Mainyu bermakna Mainyu yang angkara. Para
pengikut Spenta Mainyu dari lingkungan kodrat-kodrat rohani itu dipanggil
dengan ahuras, dan para pengikut Angro Mainyu dari lingkungan kodrat-kodrat
rohani itu dipanggil dengan daevas.
Spenta Mainyu menempati kedudukan tertinggi dan termulia, terdiri
atas enam kodrat rohani, satu persatunya memegang fungsi khusus, yaitu: Vohu
Manah, perlambang ingatan yang baik dan menempati kedudukan sebagai utusan
Ahura Mazda dan Asha, perlambang ketertiban dan keadilan; dan Kshatra, perlambang
kesucian dan welas-asih; Haurvatat, perlambang kesentosaan dan kemakmuran; dan
Ameretat, perlambang keabadian. Keenam Spenta Mainyu itu disebut Amesha Spenta
atau Amshapands.
4)
Keyakinan terhadap Angro Mainyu
Sebutan daevas dijumpai 66 kali di dalam kitab suci Avesta pada
bagian Gatha, yakni bagian yang dipandang paling tertua dan masih memiliki
ungkapan-ungkapan bahasa Iran Tua. Sebutan Angro Mainyu, sebagai kodrat yang
angkara murka, hanya dijumpai dalam ayat-sisipan, yaitu di dalam Yasna, 45:2.
Di
dalam kitab suci Avesta dengan tegas menyatakan secara berulang kali, bahwa:
Ahura Mazda, the Creator, radiant, glorious, greatest and best,
most beautiful, most firm, wisest, most perfect, and the most bounteous Spirit.
(Ahura Mazda, maha Pencipta, maha cemerlang, maha agung, maha
besar, dan maha baik, maha molek, maha teguh, maha bijaksana, maha sempurna,
dan maha welas-asih). SBE, 31:195-196.
I am the Keeper, Health-bestower, Priest, Most Priestly of priests,
property-Producer, King who rules at His will, liberal King. He who deceives not,
He who is not deceived, energetic-One, Holiness, Great-One, Good Sovereign,
Wisest of the Wise.
(Aku
inilah yang memelihara, yang menganugerahkan kesehatan, imam, maha imam dari
seluruh imam, yang memberikan kemakmuran, raja yang memerintah atas kemauannya,
raja yang dermawan, dia yang tidak memperdayakan, dia yang tidak diperdayakan,
sang Esa yang giat, maha Esa, penguasa yang baik, maha bijaksana dari yang
bijaksana). SBE, 23:27-28.
5)
Ajaran Pokok Agama Zoroaster
Manusia
Dalam teks yang berjudul “Nasihat
Pilihan dari Para Bijak Bestari Zaman Dulu” atau dikenal juga sebagai “Kitab
Nasihat Zartusht” ditemukan konsep tentang manusia. Manusia pada asalnya,
adalah wujud gaib, dua rohnya, dalam bentuk Fravashi, ada sebelum jasmaninya.
Baik jasad maupun rohnya adalah ciptaan Ahura Mazda, dan roh tidak bersifat
abadi. Manusia adalah milik Tuhan dan
kepada-Nya dia akan kembali.
Ahriman atau Angra Mainyu adalah penentang Tuhan. Dia seperti Tuhan
adalah roh gaib murni; Ahura Mazda adalah musuh abadi, cepat atau lambat
pertarungan di antara keduanya tidak
akan terelakkan. Penciptaan atau makhluk bagi-Nya merupakan suatu kebutuhan
bagi pertarungan-Nya melawan syetan, dan manusia berada di garis depan
pertempuran ini. Dalam hal ini, manusia tidak dipaksa Tuhan, tetapi karena dia
bebas dan sukarela menerima peran ini ketika ditawarkan kepadanya. Di dunia,
setiap orang bebas memilih baik atau buruk. Jika dia memilih keburukan berarti
dia bertindak tidak alami, karena “ayahnya” adalah Ahura Mazda.[5]
Bagi agama Zoroaster peran manusia di dunia, yaitu bekerja sama dengan
alam serta menjalani kehidupan yang saleh dengan pikiran, perkataan, dan
perbuatan yang baik. Di dunia, manusia memiliki kewajiban untuk hidup berumah tangga dengan memiliki istri dan
anak. Semakin banyak manusia, semakin baik karena akan semakin mudah
mengalahkan Ahriman.
Etika
Sebagian besar ajaran agama Zoroaster adalah menyangkut masalah
etika. Moralitas Zoroaster diungkapkan dengan tiga kata; humat, hukht, dan
huvarsht- pikiran baik, perkataan baik, dan perbuatan baik. Yang paling utama
dari ketiga hal itu, adalah perbuatan baik.
Inti ajaran Adhurbadh bin Mahraspand adalah “Hiduplah dengan baik
dan menjadi orang yang berguna, berilah perhatian kepada sesama, laksanakan kewajiban-kewajiban
agama, garaplah tanah, hiduplah berkeluarga dan didiklah anak-anak sehingga
menjadi terpelajar. Ingatlah bahwa hidup di dunia ini adalah sebuah pendahuluan
bagi hidup di hari nanti. Dan roh orang yang meninggal akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dikerjakannya di dunia.”
Peribadatan
Mary Boyce, dalam bukunya Zoroastrians, Their Religious Beliefs
and Practice menjelaskan bahwa waktu ibadah orang-orang Iran zaman dulu
adalah ketika matahari terbit, ketika tengah hari, dan ketika matahari
terbenam. Waktu yang tersebut akhir tampaknya diperuntukkan bagi roh orang yang
telah meninggal dunia. Zoroaster
tampaknya memberikan dua tambahan lagi, sehingga dia mewajibkan kepada para
pengikutnya untuk beribadat lima kali sehari. Tambahan pertama adalah waktu
setengah siang seperti waktu Ashar dalam agama Islam, yaitu pertengahan antara
tengah hari dan waktu matahari terbenam.
Tambahan baru lainnya adalah waktu tengah malam yang tenggang
waktunya sampai saat matahari terbit. Doa ini dipersembahkan kepada Sraosha,
Tuhannya doa. Selama waktu itu, ketika kekuatan kegelapan berada pada puncak
yang paling kuat dan mencari-cari mangsa para pengikut Zoroaster harus bangun,
mengisi minyak dan dupa pada tungku api dan memperkuat dunia kebaikan dengan
doa-doa mereka.
Bentuk dan isi sembahyang yang dikenal dari praktek yang ada adalah
sebagai berikut: pertama, orang yang melaksanakan sembahyang mempersiapkan diri
dengan mencuci wajah, tangan, dan kaki dari kotoran debu; kemudian melepas tali
kawat suci dan berdiri dengan tali dipegang dengan kedua tangannya di mukanya,
tegak lurus di hadapan penciptanya, matanya menatap simbol kebajikan, api.
Kemudian dia berdoa kepada Ahura Mazda, mengutuk Ahriman dengan
memukul-mukul kawat dengan penghinaan, memasang tali kawat lagi sambil berdoa.
Keseluruhan pelaksanaan hanya memakan waktu lima menit, tetapi pengulangan
secara teratur merupakan ibadah yang bernilai tinggi yang merupakan suatu
disiplin yang terus menerus serta suatu pengakuan yang teratur terhadap
ajaran-ajaran dasar keimanan.
Pengadilan Saat Kematian
Ajaran agama Zoroaster tentang nasib roh setelah mati terlihat
sangat jelas. Konsep kitab Avesta memberi dasar ajaran ini dan teks ini telah
disalin dengan sedikit bervariasi di dalam kitab-kitab Pahlavi. Setiap roh
manusia setelah meninggalkan kehidupan dunia akan bergentayangan menunggu
selama tiga hari di dekat jasad yang sudah menjadi mayat.
Pada hari ke empat, roh menghadapi pengadilan di atas “ Jembatan
Pengadilan “, jembatan yang di jaga oleh dewa Rashu yang bertindak sebagai
halim yang secara sangat adil menimbang perbuatan baik dan buruk manusia. Jika
perbuatannya lebih berat, roh tersebut di ijinkan langsung menuju surge, tetapi
jika perbuatan buruk lebih besar, roh tersebut ditarik dan di masukan kew dalam
neraka. Apabila perbuatan baik dan buruknya seimbang, maka roh tersebut dibawa
ke suatu tempat yang bernama hamestagan atau tempat campuran. Tempat ini tidak
disebut dalam teks Menok I Khrat, tetapi sering disebut dalam teks-teks lain.
Neraka di dalam agama
Zoroaster bukan merupakan tempat penyiksaan abadi. Neraka hanya bersifat
sementara dan merupakan tempat penyucian dari noda-noda dosa. Agama Zoroaster
memberikan penjelasan bahwa Tuhan adalah kawan manusia dan Dia tidak pernah
membuat manusia menderita. Semua kejelekan dan semua penderitaan berasal dari
Ahriman.
Hari Kebangkitan
Sebagaimana dapat dipahami dari uraian yang telah di kemukakan
sebelumnya, pengadilan roh pada saat kematian hanyalah merupakan suatu
pendahuluan bagi pengadilan akhir hari kiamat. Perhitungan terakhir, menurut
agama Zoroaster, juga hanya berupa tiga hari penyucian di dalam logam yang
meleleh dan setelah itu roh-roh terkutuk bangkit dari neraka dan seluruh umat
manusia tanpa kecuali berkumpul dalam Surga tempat mereka semua akan memuji
Tuhan selamanya.
Tuhan tidak mengutuk makhlukNya dengan siksaan abadi karena
dosa-dosanya bagaimanapun besarnya. Semua dosa akan dihukum dengan setimpal di
dalam neraka yang bersifat sementara. Neraka adalah tempat tinggal Ahriman dan
Syaitan-syaitan. Tuhan melunakkan keadilan dengan rasa belas kasihan. Dia tidak
mempunyai sifat yang kejam dan sama sekali tidak bisa murka.
No comments:
Post a Comment