1. Sejarah
Agama Jain
Agama Jaina bermakna : agama Penaklukan.
Yang dimaksudkan penaklukan adalah penaklukan kodrat-kodrat Syahwati dalam tata
hidup manusiawi[1],
sebenarnya ajaran agama jain ini telah lahir sejak dulu, agama jain mengakui
bahwa ada 24 Thirtankara atau jiwa sempurna yang kesemuanya dipercayai telah
menyebarkan ajaran agama jain keseluruh dunia[2] dari dua
puluh empat thirtankara tersebut, Vardhamana atau yang dikenal dengan Mahavira
yakni Thirtankara yang ke 24 adalah tokoh jainisme yang paling dikenal dan para
penganut agama jain merasa ajaran jain telah cukup sempurana tatkala
ditangannya.[3]
Jainisme mulai diakui keberadaannya di
magadha, india utara sekitar abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi pada waktu itu
mahavira menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu mahavira lebih dikenal sebagai
nabi jainisme, bukan penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa
mahavira dianggap bukan yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran jainisme
tersebut. Namun diakui bahwa diantara sekian banyak tirthankara, Mahavira
adalah yang paling akhir turun ke Dunia ini. Sehingga Ialah yang menyampaikan
dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama jain.[4]
Mahavira lahir pada tahun 599 SM, ayahnya bernama
Sidarta yang merupakan seorang anggota dalam majelis yang memerintah Bandar
atau kesatuan ketentaraan di india. Ibunya merupakan anak dari ketua majelis
itu yang bernama Tri Sala.[5] Mahavira dilahirkan di wilayah republik Vaisali (Behar), di kampung
Basarh, kira-kira 27 mil di sebelah utara kota Patna.[6]
Dia dipanggil mahavira itu sendiri setelah ada
kejadian dimana pada suatu ketika ada seekor gajah yang terlepas dari
kandangnya kemudian merusak apa-apa yang menghalangi jalanya dia, tidak ada
satu-pun orang yang bisa menangkap dan menjinakan hewan itu. Dan ketika sedang
bermain vhardamana melihat gajah tersebut dan dia langsung menangkapnya dan
menjinakannya padahal usiannya baru 7 tahun. Akhirnya rakyat kerajaan Moghadah
amat memujikan keberanian pangeran muda itu, sejak itu-pun dia dipanggil
Mahavira (perwira perkasa). Dia juga dinamakan jaina yang berarti ‘gagah
perkasa’ dan dengan sifat itulah agama tersebut diberi nama agama jaina. Dia
menikah dengan puteri yasodha dan dikarunia satu orang anak.[7] Anak
Mahavira diberi nama Anoja.[8]
Awal mula dari kemunculan agama jaina
ialah ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana ( Brahmin ) yang
banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia muak pangeran
muda tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan kematian kedua orang tuanya dalam
keadaan lapar padahal mereka hidup dalam kemewahan, itu dilakukan kedua
orangnya Karena dalam ajaran hindu mengatakan kematian dalam keadaan
lapar merupakan suatu kematian yang suci ( holy death ). Setelah kedua
orang tuanya meninggal itulah dia berkata kepada saudaranya :
“ saudara, untuk berkabung atas kemangkatan
ibu-bapak kita, saya berkehendak mengangkat sumpah bahwa dua belas tahun
lamanya saya akan mengabaikan tubuh menahankan bencana apapun yang datang dari
kodrat-kodrat gaib maupun manusia atau-pun hewan “. ( SBE. 22-200 ).
Mahavira melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang
kafir, dan bersumpah “ dalam masa 12 tahun terhitung mulai dari saat ini saya
tidak akan mengucapkan sepatah katapun“. Dari sumpah itu dia mendapatkan banyak
pelajaran, diantaranya dia itu lebih baik dari kata. Mahavira juga tidak
membenarkan membunuh apa-apa yang bernyawa. Kemudian ajaran-ajarannya banyak
didukung oleh kalangan raja-raja karena salah satu ajarannya adalah tidak boleh
menyakiti benda-benda yang mempunyai ruh tetapi telah mewajibkan rakyat agar
taat dan setia kepada orang yang memerintah, barang siapa yang melanggar atau
menentang akan disembelih kepalannya. Apalagi seruannya mengandung sesuatu yang
membayangkan isi hati mereka dalam menentang golongan brahmana. Penyebaran
hasil pemikirannya disebar melalui padato-pidato dan ceramah-ceramah diberbagai
kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian
pengikut jaina lebih kurang satu juta orang dan semuanya berada di india
seperti agama hindu, pada keseluruhannya tata sosial
dan pendidikan mereka bersifat tinggi. Sumber-sumber
suci dikalangan para pengikut jaina adalah pidato-pidato mahavira yang
dikumpulkan bersama-sama dan dijilid menjadi suatu
sumber hukum. Sehingga disetujui bahwa bahasa kepustakaan suci ini adalah
suatu bahasa yang dinamakan “ Ardha Majdi “. Tatkala timbul niat untuk menjaga
dan menyusunnya, maka digunakan bahasa sanskerta. Kitab tersebut berisikan tentang
pesan-pesan dan sumber hukum dari para
pengikut agama jaina. Kitab suci Jaina yaitu “Siddahanta” yang bermakna
perintah, ajaran, bimbingan. Kitab suci ini terdiri ari 12 buah Angas (Bab).[9]
Ia mulai
melakukan meditasi dan merasakan kesengsaraan hidup dengan tujuan mencapai
kebebasan tuntas. Pada tahun ke 13 dari masa pertapanya, ia berhasil memperoleh
pengetahuan agung yang disebut kevala dan berhasil memasuki nirwana pada usia
72 tahun di kota Pavapuri, juga di Behar. Sejak saat itu kota Pavapuri menjadi
pusat ziarah para penganut agama Jain. Hari peringatan tahunan pencerahan agama
Hindu, yang disebut Diwali, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena
diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirwana. Dalam kuil utama
agama Jain di kota ini ditemukan cap-cap kaki Mahavira yang dianggap sakral.[10]
2. Perkembangan
Jainisme
Agama jinisme
dikenal di Asia Selatan (India) dan disebarkan oleh Vardamina (546 SM) yang
berasal dari keluarga yang sangat
berkuasa pada masanya. Vardamina selama dua belas tahun hidup menjadi anggota
masyarakat pertapa yang bernama Nirgrantha. Pada tahun ke-13 dalam
pengembaraannya Vardamina mendapatkan ilham atau wahyu penerangan tentang
hakikat Tuhan yang Maha Tahu, yang mengerti akan segala sesuatu yang ada di
jagad raya ini baik yang tersembunyi maupun yang nampak.
Pada selama
tiga puluh tahun kemudian Vardamina menyiarkan agamanya. Dan setelah Vardamina
Mahavira meninggal aliran jainisme pecah menjadi dua yaitu Svetambara (memakai
jubah putih) dan Digambara (berpakaian langit atau telanjang) perpecahan tersebut terjadi Sekitar tahun 310 SM yakni
lebih kurang tiga abad sepeninggal Mahavira. Perpecahan itu disebabkan musim
paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat jaina itu dibawah
pimpinan Badhrabahu, melakukan perpindahan menuju ke belahan selatan India,
berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat terpecah menjadi
dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara beriklim dingin dan
be;lahan selatan beriklim panas. Di dalam wilayah yang beriklim panas itu,
pakaian tidak diperlukan. Sedangkan di belahan utara lebih mengutamakan
bertarak dan bertapa tetapi perpecahan itu belum resmi.
Kemudian Sekitar tahun 82 Masehi perpecahan itu menjadi
resmi dan disebabkan masalah pakaian.
Perbedaan
|
Belahan Utara
|
Belahan Selatan
|
Pakaian
|
Putih
|
Tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun (Bugil)
|
Sekte
|
Svetambara
|
Digambara
|
Sebutan
|
Jemaat berpakaian putih
|
Jemaat bertelanjang Bugil bagaikan langit
|
Tetapi sejak abad ke 7 M,
yakni semenjak anak benua India itu berada dibawah kekuasaan islam. Maka jemaat
digambara mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidaknya mengenakan celana
dalam. Selain itu Persentuhan agama Jaina dengan agama Islam juga menjadi
bagian dari perkembangan agama jain. Persentuhan keduanya pada anak benua India
itu lambat laun menimbulkan pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu.
Pada tahun 1474 M lahir suatu sekte baru, yaitu Stanavaksi. Ini muncul
dari lingkungan sekte Svetambara pada belahan India Utara. Sekte ini merupakan
gerakan reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan pembaharuan. Mereka berusaha
mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddanta (agama) itu, lalu memisahakan
angas yang dapat dipandang otentik dan angas yang dipandang susunan pada masa
belakangan. Di dalam angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan
terhadap patung dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat
Sthanavaksi itu, sampai kepada masa sekarang ini, tidak berhiaskan patung
apapun juga.[11]
3. Ajaran dan Praktik Kegamaan
A.
Kitab Suci
Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah
pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para
pengikutnya seperti para murid-muridnya,orang-orang arif,pendeta-pendeta dan
para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke
generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut ajaran-ajarn ini hilang dan
bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain maka pada abad ke-4 SM namun ada juga
yang menyebut pada130 SM, para penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar
patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu.
Kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran
pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa
ardha majdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad
sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti
bahasanya menjadi bahasa sansekerta.
Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas
sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira.
Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan
lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab
suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu.
Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama
jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan
gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja.
B.
Sistem Kepercayaan Agama Jain
1.
Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai
pencipta atau penguasa dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham
jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini
didasarkan pada corak paha agama tersebut tentang apa yang disebut tuhan. Agama
jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun mengatakan
bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam
alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri
darinya.[12]
Para pakar telah mencoba meneliti mengapa jainisme menolak tuhan,
namun mereka baru memperkirakan saja mengenai sebab tersebut. Yakni yang
pertama. Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak ada perlunya karena manusia
sendiri mampu mencapai kelepasan melalui kekuatannya sendiri tanpa harus
bergantung secara neurotic terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya.
Kedua, karena tuhan-tuhan itu malah seolah-olah dianggap sebagai hal yang
dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional.[13]
Sebab lainnya yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang
krisis politik dan kemerosotan kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian
Pentingnya upacara korban dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang
punggung sistem kasta.[14]
2.
Konsepsi tentang alam
Jainisme menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam saemesta
ini menjadi dua kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup
(ajiva). Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma,
ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut
disebut denga enam dravya.
Menurut agama ajarang agama jain substansi jiva dan ajiva adalah
kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak berakhir. Atau
dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang menyebabkan terjadinya substansi-substansi
tersebut. Kemudian selain pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari
sudut pandang lain berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut
diklasifikasikan menjadi dua yakni astikaya dan nastikaya.[15]
Menurut kosmologi jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam
semesta ini bergerak melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang
ideal menuju kearah titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas
dan begitu seterusnya. Menurut agama jain alam semesta ini bergerak bukan
karena adanya tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[16]
3.
Konsepsi tentang karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang karma-samsara dalam
pemikiran tradisional india, dan mengajarkan bahw karma terjadi karena
tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam jainisme berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa
dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut jainisme tubuh manusia itu
memenjarakan jiwanya.
Menurut jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu
menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu.
Menurut jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan
nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada
akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama
hidup.[17]
Tujuan utama dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman,
satu jiwa yang sempurna. Ini akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang
dianggap sebagai substansi, dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas
sampai di langit-langit alam semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di
luar Dewa-dewa dan perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya
dalam kebahagiaan yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam agama Jain
sebagai pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang
murni dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari
karma dan kelahiran kembali.
Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada waktu setelah mati.
Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai manusia-Tuhan
(man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena itu, tidak ada
persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran murni, kekuatan,
kebahagiaan dan maha tahu.[18]
4.
Pandangan tentang pencerahan
Tujuan akhir dari ajaran jain adalah untuk mencapai kehidupan yang
sempurna memperoleh pengetahuan tentang pencerahan dan akhirnya moksa yakni
terlepas dari siklus kelahiran kembali. Menurut agama jain jiwa yang telah
mencapai kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan pemiliknya mencapai tingkat
kesalehan dan kesempurnaan dari luar.
Sebagai contoh para tirthankara yang kesemuanya telah diakui
berhasil mencapai kesempurnaan itu. Kemudian orang yang telah mencapai
kesempurnaan jua akan dapat menikmati empat macam atribut yakni persepis yyang
tak terbatas, pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak terbatas dan
kebahagiaan yang tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat dirasa
ketika dia amsih hidup atau sudah mati.[19]
5.
Tentang
Epsitemologi
Dalam aspek epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka
bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika
kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan
testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena
sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri
memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah
invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka
tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony
(sabda) sebagai sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan
valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat.
Testimoni valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya.
Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang telah terbebaskan (jaina atau
tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar
yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni
Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[20]
6.
Jaina percaya dengan pluralisme roh
Terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh
dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga
diterima dalam ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki
kesadaran, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun
indra-indranya, roh terbelenggu dalam pengetahuan yang terbatas; juga terbatas
dalam tenaga dan mengalami segala jenis penderitaan.
Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran tak terbatas, kekuatan
dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti matahari dihalangi oleh
awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh
dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.[21]
Tiga cara menyingkirkan belenggu :
ü Keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran guru-guru jaina.
ü Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
ü Perilaku yang benar.
·
Perilaku
benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai seluruh makhluk hidup.
·
Menghidari
kesalahan.
·
Mencuri.
·
Sensualitas.
·
Kemelakatan
objek-objek indriya
Mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan akan dikendalikan dan
karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh mencapai kesempurnaan
alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas, dan kebahagian yang tak
terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina. Hal ini telah dibukatikan
oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara. Mereka memperlihatkan
jalan menuju moksa.[22]
7.
Tentang
Metafisika
Di dalam aspek metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik
dan pluralism relativistik. Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas.
Material dan spirit dipandang sebagai realitas-realitas yang independen dan
terpisah. Terdapat atom-atom material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh
individu aspek-aspek dirinya yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda
mempunyai karakteristik yang tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai
karakter positif dan negative yang tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin
bagi manusia biasa untuk mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian
kecil saja. Oleh karena itu, jainisme mengatakan ia yang mengetahui semua
sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia
mengetahui semua sifat semua benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda.
Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah
relativ dan terbatas dan semuanya merupakan keputusan kita.
Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”.
Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek dari ajaranyang sama
–realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya bahwa realitas
mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut anekantavada, sementara
pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa
aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh karena itu keputusan-keputusan
kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada dan ada tujuh golongannya:
1)
Syadasti : Secara relative,
sebuah benda riil.
2)
Syannasti : Secara relative, sebuah benda tidak
riil.
3)
Syadasti nasty : Secara
relative, sebuah benda
keduanya riil dan tidak riil.
4)
Syadavaktavyam : Secara
relative, sebuah benda tak
bisa dijelaskan.
5)
Syadasti chaavaktavyam
Secara
relative, sebuah benda riil dan tidak bias dijelaskan.
6)
Syannasti cha avaktavyam
Secara
relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di jelaskan.
7)
Syadasti cha nasty cha avaktavyam
Secara
relative, sebuah benda rill, tidak riil dan tidak bisa dijelaskan.
C. Praktek
Keagamaan Jainisme
Asketisme
Menurut jai nada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama
bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual
yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan. Kedua, bahwa
kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit
(jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Etika
penganut agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang
kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus
kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara
dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut
“sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’
(anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah :
(1)
Ahimsa : non kekerasan
(2)
Satya : kebenaran di dalam pikiran
(3)
Asteya : tidak mencuri
(4)
Brahmacharya : berpantang
dari pemenuhan nafsu baik
pikiran, perkataan maupun perbuatan
(5)
Aparigraha : ketakmelekatan
dengan pikiran, perkataan
dan
perbuatan.[23]
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula berasal dari aturan
pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah :
1.
Tidak
pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2.
Tidak
pernah berbohong
3.
Tidak
mencuri
4.
Tidak
berzina
5.
Tidak
tamak
6.
Menghindari
godaan-godaan
7.
Membatasi
jumlah barang yang dipakai sehari-hari
8.
Menjaga
hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.
Menjaga
periode-periode meditasi yang telah dicapai
10.
Mengamati
periode-periode penolakan diri
11.
Memanfaatkan
periode-periode kesempatan menjadi pendeta
12.
Member
sedekah
Umat
awam juga memegag prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan
selanjutnya melarang diri makan telor.
[1] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia,
(Jakarta: al Husna Zikra), cet. lll, 1996, h 128
[2] Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h.
152
[4] Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h.
15153
[5] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada
tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[6] Mukti Ali,
Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[7] Muhammad Mardiansyah, Agama
Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[8] Mukti Ali,
Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[9] Muhammad Mardiansyah, Agama
Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[10] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h.
151-152
[11] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, h 140-141
[18] http://www.iloveblue.com/agama-jain/
[20] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat
India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h 315-16
[21] Ibid, h. 18
[22] Ibid, h. 320
[23] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat
India, h. 319.
No comments:
Post a Comment